Teori Konsep Diri, Perkembangan, & Faktor-Faktor yang Mempengaruhi

teori konsep diri

Konsep diri merupakan terjemahan dari self-concept dan berkaitan erat dengan kepribadian individu karena konsep diri adalah suatu susunan (konstruk) dalam kepribadian (Rogers.dalam Hall dan Lindzey, 1993). 

Kalau kepribadian seseorang dapat diamati dari perilaku-perilakunya dalam berbagai situasi dari pola reaksinya, maka konsep diri tidak langsung dapat diamati seperti halnya perilaku dan ekspresi seseorang.

Manifestasi konsep diri yang tercermin dalam pola reaksi seseorang, dapat diamati dari reaksi yang ajeg yang mendasari pola perilakunya. 

Misalnya, seseorang yang memiliki pola perilaku optimis, akan berperilaku tidak mudah menyerah dan selalu ingin mencoba pengalaman baru yang dianggapnya berguna. Perilaku yang teramati dan kemudian merupakan pola perilaku individu ini merupakan pencerminan konsep diri yang positif. 

Sebaliknya, seseorang yang menganggap dirinya kurang mampu, akan berperilaku takut menghadapi hal-hal baru dan takut tidak berhasil, dan hal ini merupakan pencerminan dari konsep diri yang negatif.

Daftar Isi :

Teori Konsep Diri

Teoris-teoris terdahulu mendefinisikan dan menggunakan konsep diri dalam terminologi yang bersifat umum sebagai persepsi global atas diri sendiri (self worth) atau harga diri (self esteem) (Pajares dan Schunk, 2001). 

Persepsi yang dimaksud adalah keyakinan, perasaan, dan sikap tentang nilai-nilai yang diakui oleh individu sebagai ciri-ciri dirinya (Hurlock, 1979). Menurut Fuhrmann (1990), konsep diri adalah konsep dasar tentang diri sendiri, pikiran dan opini pribadi, kesadaran tentang apa dan siapa dirinya, dan bagaimana perbandingan antara dirinya dengan orang lain serta bagaimana beberapa idealisme yang telah dikembangkannya. 

Hal-hal yang termasuk di dalam persepsi diri ini antara lain adalah fisik, seksual, kognitif, moral, okupasional atau segala apapun yang telah dilakukan dengan ketrampilan, peran, kompetensi, penampilan, motivasi, tujuan atau emosi (Fuhrmann, 1990). 

Sedangkan menurut Brooks (dalam Rachmat, 1999), konsep diri merupakan persepsi terhadap diri individu sendiri, baik yang bersifat fisik, sosial dan psikologis yang diperoleh melalui pengalaman dari interaksi individu dengan orang lain.

Perkembangan Konsep Diri 

Konsep diri bukanlah faktor bawaan sejak lahir, melainkan sebuah faktor yang dipelajari dan terbentuk dari pengalaman individu dalam berinteraksi dengan individu lain maupun lingkungannya. Dengan demikian konsep diri adalah sebuah faktor yang selalu berkembang. Menurut Lewis dan Brooks Gunn (dalam Bee, 1994), perkembangan konsep diri adalah sebagai berikut: 

1. Tahap existensial self / subjective self 

Tahap ini merupakan suatu tahap dimana muncul kesadaran individu sebagai makhluk yang terpisah dari individu yang lain. Pertama, anak-anak akan mengembangkan rasa primitif sebagai sesuatu yang terpisah dari yang lain. Kemudian dengan cepat hal ini diikuti dengan pemahaman bahwa dirinya merupakan sesuatu yang konstan (ada) dan merupakan aktor (agen) dari dunia. 

2. Tahap categorial self / objective self 

Pada tahap ini individu mulai mengartikan diri sendiri dalam kategori-kategori tertentu seperti umur, jenis kelamin atau yang lainnya. Individu juga akan mencapai kesadaran diri bahwa mereka juga merupakan objek yang ada di dunia. 

Pada titik ini, individu mendefinisikan dirinya dalam terminologi properti fisik seperti usia, ukuran badan, jenis kelamin, aktivitas serta keterampilannya. 

Setelah melewati periode operasional kongkrit dan operasional formal (dari usia enam sampai dengan dewasa), secara bertahap konsep diri anak-anak berubah menjadi konsep diri yang lebih abstrak, dimana akan lebih ditonjolkan kualitas kepribadian dibanding kualitas fisik. 

3. Tahap self esteem

Pada tahap yang biasanya terjadi pada masa dewasa akhir ini, keseluruhan konsep diri akan nampak menjadi semacam reorganisasi orientasi masa depan, orientasi seksual, orientasi okupasional, dan orientasi ideologi identitas yang baru. 

Sedangkan menurut Alport (dalam Rapoport, 1972), perkembangan konsep diri anak-anak meliputi lima tahap yang berturut-turut. Pada usia 1 sampai dengan 3 tahun, dikembangkan tahap bodily self, identitas diri yang berkelanjutan (continuing self-identity), dan pride (rasa bangga) atau self-esteem (harga diri). 

Selama masa kanak-kanak, individu akan membedakan tubuhnya dengan lingkungan yang ada disekitarnya. Pada usia 2 tahun, anak sudah bisa mengenali tubuh dan identitas dirinya secara langsung termasuk namanya. 

Menurut Damon dan Hart (dalam Mussen dkk, 1989), pada usia 18 bulan individu mulai mengenal wajah mereka sendiri dan mampu menunjuk gambar diri mereka ketika nama mereka disebutkan. Tahap kedua adalah tahap identitas diri yang berkelanjutan, yang dikembangkan melalui bahasa. 

Pada usia 2 tahun, individu sudah bisa mengetahui namanya, meskipun butuh waktu bagi dirinya untuk dapat menggunakan (mengucapkan) namanya dan beberapa nama yang lain secara benar. Kadangkala individu pada usia ini menggunakan namanya sebagai bahasa orang ketiga dan mulai menunjukkan perilaku sesuai dengan konsepsi bad me dan good me. 

Tahap pride tampak ketika individu berusaha melakukan sesuatu secara mandiri dan akan mendapatkan kesenangan bila berhasil. Hal ini dilakukan untuk menunjukkan otonomi. 

Pada usia 4 – 6 tahun individu mengembangkan tahap selanjutnya yaitu tahap extension self (pengembangan diri) dan self-image (citra diri). Pembentukan tahap keempat merupakan kecemburuan individu akan individu lain. 

Hal ini kadangkala dipahami oleh orang tua sebagai perilaku yang mengganggu, karena bisa saja anaknya mengambil atau meminta paksa mainan yang dipunyai oleh temannya. 

Pada tahap citra diri (usia 5 atau 6 tahun) individu mulai melihat dirinya sesuai dengan kriteria orang dewasa, tetapi pandangan ini suram dan terbatas.

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konsep Diri 

Konsep diri berkembang dari sejumlah sumber yang saling berkait antara satu sumber dengan sumber yang lain. Menurut Burns (1993), konsep diri dipengaruhi oleh faktor-faktor sebagai berikut: 

1. Citra diri, yang berisi tentang kesadaran dan citra tubuh, yang pada mulanya dilengkapi melalui persepsi inderawi. Hal ini merupakan inti dan dasar dari acuan dan identitas diri yang terbentuk. 

2. Kemampuan bahasa. Bahasa timbul untuk membantu proses diferensiasi terhadap orang lain yang ada di sekitar individu, dan juga untuk memudahkan atas umpan balik yang dilakukan oleh orang-orang terdekat (significant others). 

3. Umpan balik dari lingkungan, khususnya dari orang-orang terdekat (significant others). Individu yang citra tubuhnya mendekati ideal masyarakat atau sesuai dengan yang diinginkan oleh orang lain yang dihormatinya, akan mempunyai rasa harga diri yang akan tampak melalui penilaian-penilaian yang terefleksikan. 

4. Identifikasi dengan peran jenis yang sesuai dengan stereotip masyarakat. Identifikasi berdasarkan penggolongan seks dan peranan seks yang sesuai dengan pengalaman masing-masing individu akan berpengaruh terhadap sejauh mana individu memberi label maskulin atau feminin kepada dirinya sendiri. 

5. Pola asuh, perlakuan, dan komunikasi orang tua. Hal ini akan berpengaruh terhadap harga diri individu karena ada ketergantungan secara fisik, emosional dan sosial kepada orang tua individu (terutama pada masa kanak-kanak), selain karena orang tua juga merupakan sumber umpan balik bagi individu. 

Menurut Fuhrmann (1990), faktor yang berpengaruh terhadap konsep diri adalah identifikasi dan interaksi dalam keluarga, teman sebaya maupun lingkungan sosial, persepsi terhadap ras, SES (status ekonomi sosial), kebangsaan dan karakteristik fisik. 

Evaluasi yang dilakukan oleh individu merupakan hasil dari keseluruhan interaksi sosial dan pengalaman yang dipunyainya. Lingkungan sosial adalah keseluruhan tempat yang mengandung nilai-nilai yang mempunyai karakteristik dan kualitas yang khusus. 

Lingkungan teman sebaya adalah tempat untuk membuat standar yang harus dipunyai individu dan wahana yang membuat inidividu bisa menilai bagaimana dirinya jika dibandingkan dengan teman yang lain. Keluarga merupakan faktor yang menerima dan menghargai individu atau justru menolak dan membuat individu menjadi merasa tidak berharga. 

Konsep Diri Dalam Konteks Lintas Budaya 

Budaya-budaya yang berbeda akan memiliki sistem-sistem nilai yang berbeda dan karenanya ikut menentukan tujuan hidup yang berbeda. Hal ini terjadi karena budaya merupakan gaya hidup unik suatu kelompok manusia tertentu. 

Meskipun mempunyai persamaan pada aspek-aspek tertentu, misalnya bahasa dan makanan yang diproses, terdapat aneka ragam perilaku manusia karena manusia tidak mempunyai budaya yang sama. 

Budaya adalah tatanan pengetahuan, pengalaman, kepercayaan, nilai, sikap, makna, hierarki, agama, waktu, peranan, hubungan ruang, konsep alam semesta, objek-objek materi, dan milik yang diperoleh sekelompok besar orang dari generasi ke generasi melalui usaha individu dan kelompok. 

Budaya menampakkan diri dalam pola-pola bahasa dan dalam bentuk-bentuk kegiatan dan perilaku yang berfungsi sebagai model bagi tindakan-tindakan penyesuaian diri dan gaya komunikasi yang memungkinkan orang-orang tinggal dalam suatu masyarakat di suatu lingkungan geografis tertentu pada suatu tingkat perkembangan teknis tertentu dan pada suatu saat tertentu (Porter dan Samovar 2000). 

Secara ringkas, budaya (culture) adalah seperangkat sikap, nilai, kepercayaan dan perilaku yang dimiliki secara bersama-sama oleh sekelompok orang tetapi berbeda untuk masing-masing individu dan dikomunikasikan dari satu generasi ke generasi berikutnya (Matsumoto, 1996). 

Sekelompok orang bisa berarti suku bangsa yang merupakan suatu golongan manusia yang terikat oleh kesadaran dan identitas akan kesatuan budaya (Koentjaraningrat, 1981). 

Dalam kehidupan sehari-hari, budaya mempengaruhi dan dipengaruhi oleh setiap faset aktivitas manusia. Hal ini tersirat dari pengertian psikologi lintas budaya oleh Berry, Poortinga, Segall dan Dasen (1999) bahwa psikologi lintas budaya adalah suatu studi tentang bagaimana daya-daya sosial dan budaya membentuk perilaku manusia. 

Shavelson dan Marsh (1986) mendefinisikan konsep diri sebagai persepsi individu terhadap diri sendiri. Persepsi tersebut dibentuk melalui pengalaman individu dalam lingkungan sosialnya dan dipengaruhi secara khusus oleh evaluasi yang dilakukan oleh significant others, faktor-faktor pendorong yang lain, dan atribusi individu terhadap perilakunya sendiri. Konsep diri juga tergantung pada 

Fikalmyid
Fikalmyid Blogger Wajo yang ngeblog sejak tahun 2014. Saat ini aktif desain grafis sambil share tips dan trik tentang blog dan desain grafis

Post a Comment for "Teori Konsep Diri, Perkembangan, & Faktor-Faktor yang Mempengaruhi"